PKS Maskot Animasi

Senin, Juni 08, 2009

TAUJIH SYAR’I - Jihad Siyasi

MENIMBANG KEMASLAHATAN LEBIH BESAR

1. Dinul Islam tidak semata-mata diturunkan melainkan untuk kemaslahatan semesta,
sebagaimana firman Allah SWT tentang misi Rasul saw.
LIhat QS Al Anbiya: 107 Dan Al Maidah: 6


2. Apabila kemaslahatan untuk semua orang tidak dapat dicapai, maka perintah syara’ adalah
agar mengupayakan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah pada Qs. Al-Baqarah : 217
Ayat ini mentoleransi atau bahkan mendispensasi untuk melancarkan peperangan di bulan
haram, padahal status hukum asalnya haram, tapi untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi
da’wah Islamiyah bahkan umat manusia maka mengambil inisiatif menyerang sekalipun
adalah langkah yang dibenarkan oleh syara’. Kemaslahatan yang lebih besar itu berupa dapat
dilumpuhkan atau dihancurkannya kekuatan yang menghalangi da’wah fisabilillah,
zhuhurnya institusi kekufuran, penodaan terhadap tempat suci al Masjidil Haram,
pengusiran kaum muslimin dari rumah dan kampung halaman mereka. Dan secara umum
setiap bentuk upaya memesongkan manusia dari ‘aqidah Islamiyah merupakan “Fitnah”
yang lebih dahsyat dari membunuh musuh di bulan terlarang.


3. Ketika dalam hidup kita harus memilih antara dua perkara yang jaiz atau halal, tetapi
tingkat atau dampak kemaslahatannya tidak sama, maka pilihan harus dijatuhkan kepada
yang dikalkulasi lebih besar maslahatnya.
Adalah Rasulullah saw manakala diberi pilihan antara dua perkara yang halal, tidak
mengandung dosa di dalamnya, maka beliau memilih mana yang lebih maslahat, lebih
ringan baik tenaga, waktu atau biayanya. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadits Riwayat
Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah.


4. Apabila kewenangan untuk mempertimbangkan dan memilih mana yang
diperhitungkan akan dapat lebih membawa maslahat itu dimandatkan kepada seseorang
melalui TAUKIL atau WAKALAH, maka pihak wakil berhak dan tidak boleh
dipersalahkan ketika menjatuhkan pilihan tertentu yang masih dalam lingkup wakalahnya.
Ini berlaku untuk pemberian mandat khusus ataupun mandat umum, meskipun pihak
penerima mandat sebagai perseorangan. Terlebih apabila mandat itu diberikan kepada suatu
tim, satu majmu’ah atau grup dan struktur yang berposisi sebagai pemimpin (qiyadah) yang
terpilih. Ijtihad individual/fardi dari anggota tidak boleh menjadi alternatif bagi ijtihad
qiyadah, apalagi melikwidasinya. Di atas otoritas wakalah tersebut, ijtihad dan pilihan yang
diambil qiyadah dalam menimbang (muwazanah) antara kemaslahatan, diperkuat pula
dengan otoritas kewajiban ta’at (wujubul tha’ah) kepada ulil amri yang diperintahkan Al
Quran Surah Annisa, ayat 59.


5. Kemaslahatan itu ada yang berupa khasiat/manfaat sesuatu yang kita pakai atau konsumsi
secara fisik, hal ini dipertimbangkan berdasarkan empiric dan keahlian atau spesialisasi.
Taujih al Quran menegaskan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw (Al A’raf: 157)


6. Pilihan yang dibuat sering harus diberlakukan juga antara beberapa kemungkinan yang
bakal terjadi, melalui analisis konsekwensi atau dampak kedepannya atau kajian “Fiqh al
Maalat”. Perbuatan yang jaiz bahkan ada kebaikannya ternyata dilarang oleh al Quran jika
berdampak langsung (dzari’ah) menimbulkan hal hal yang jauh lebih merugikan, lebih
mafsadat atau madharat.
Al An’am : 108
Dalam hal keniscayaan mempertimbangkan apa yang bakal atau diperhitungkan terjadi di
masa yang akan datang, pembenaran terhadap tindakan Khidir dalam al Quran adalah
relevan untuk dikemukakan.
Al Kahfi: 80 81
Dalam konteks siyasah syar’iyah, imam Ibnu Taimiyah merekomendasikan pilihan figure
untuk suatu pos jabatan public, baik berupa pasangan atau satu pos tertentu. Ia minta agar
mencontoh pasangan para khularaurrrasyidin yang mendapat taufiq Allah. Sosok Abu Bakar
yang lembut lebih maslahat berpasangan dengan sosok Umar yang streng. Model Umar
yang strik lebih maslahat berpasangan dengan Abu Ubaidah, bukan dengan Khalid bin
Walid. Untuk posisi qadhi ia menyarankan sosok ‘alim yang berani meskipun agak kurang
amalan sunatnya, untuk mufti ‘alim yang wari’ meski kurang berani. Sedang untuk seorang
panglima atau komendan mengajukan orang yang kuat pemberani meskipun kurang
ke’aliman dan amalan sunatnya.


7. Contoh dari Ibnu Taimiyah di atas sekaligus cocok untuk wawasan tentang
mempertimbangkan mana yang dampaknya pribadi dan mana yang berdampak umum.
Kesalehan yang berfsifat pribadi maslahatnya terbatas untuk diri pribadinya, sedang
kesalehan atau kethalehan (ketidak salehan) yang akan berdampak umum harus lebih
dipertimbangkan. Ini sesuai dengan arahan Rasulullah saw tentang shalat dan jihad
bersama seorang imam betapapun juga akhlaqnya.
Jangan tinggalkan shalat berjama’ah bersama seorang sulthan meski ia seorang yang
tidak baik (fajir), karena bagi ma’mum tetap untung tidak ada ruginya. Sebab kefajiran
pribadi Sulthan dalam hal shalat jama’ah- bisa jadi pengurang pahala bagi dirinya, sedang
kemaslahatan serta pahala shalat jama’ah tetap didapat oleh ma’mum tanpa berkurang.
Sama halnya dengan jihad besama Sulthan yang fajir, kefujurannya merugikan dirinya
sedangkan kemaslahatan jihad melumpuhkan musuh da’wah adalah untuk umum.
Karena itu, fuqaha membuat kategorisasi antara kebaikan yang terbatas (al khairul qashir)
dengan kebaikan yang berdampak luas (al khairul muta’addi). Dalam konteks
kemaslahatan umum yang luas “al khairul muta’addi” yang harus lebih dipertimbangkan,
sedangkan “al khairul qashir” kalau ada ya tentu lebih baik dan memperelok. Jika tidak
terpenuhi kedua-duanya, kebaikan pribadi mungkin bisa diupayakan/didorong dengan
perjalanan waktu bahkan bisa ditoleransi. Tidak demikian halnya dengan yang bedapak
umum, kepositipan atau kenegatipan, bukan perkara yang bisa ditoleransi dan diserahkan
kepada proses waktu.


8. Dalam menapaki “al jihadu sabiluna” menuju “Allahu ghayatuna”, ada keharusan
selalu memadukannya dengan do’a, sebaliknya do’a harus berpadu upaya. Di sector
siyasah maka jihad siyasi yang kita tempuh dengan sabar punya target idaratul daulah.
Memang ada kesamaan dengan kekuatan politik lain, tapi kita wajib memastikan bahwa
jihad siyasi ini berbeda. Sebagaimana araahan Kitabullah SWT:
Assajdah: 24
Ayat ini menegaskan bahwa imam adalah sulthan, sulthan adalah imam.
Keteladanan sebagai imam dalam hal bersihFpeduli dan professional, kita bina
dengan segala kesabaran, untuk mampu membawa masyarakat pada kehidupan
yang yang berjalan menurut guidance Allah, sehingga Allah ridha kepada kita dan
kitapun ridha kepadaNya.



http://pk-sejahtera.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Presiden PKS 2020-2025